UU NO 17 TAHUN 2008 TENTANG PELABUHAN ( PASAL 139 - PASAL 278 )


Image result for pelabuhan
Pasal  139
Untuk tindakan penyelamatan, Nakhoda berhak menyimpang dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan lainnya yang diperlukan.

Pasal  140
(1)          Dalam hal Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35  (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih yang bertugas di kapal sedang berlayar untuk sementara atau untuk seterusnya tidak mampu melaksanakan tugas, mualim I menggantikannya dan  pada  pelabuhan  berikut  yang  disinggahinya diadakan penggantian Nakhoda.

(2)         Apabila . . .


(2)          Apabila mualim I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu menggantikan Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mualim lainnya yang tertinggi dalam jabatan sesuai dengan sijil menggantikan dan pada pelabuhan berikut  yang  disinggahinya  diadakan penggantian Nakhoda.
(3)          Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disebabkan halangan sementara, penggantian tidak mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab Nakhoda kepada pengganti sementara.
(4)          Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan menggantikan Nakhoda  sebagaimana dimaksud  pada ayat (1), pengganti Nakhoda ditunjuk oleh dewan kapal.
(5)          Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  disebabkan  halangan  tetap,  Nakhoda  pengganti sementara mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 137 ayat (1) dan ayat (3).

Pasal  141

(1)          Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih dan Nakhoda untuk kapal penumpang, wajib menyelenggarakan buku harian kapal.
(2)          Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih wajib melaporkan buku harian kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang dan/atau atas permintaan pihak yang berwenang untuk memperlihatkan buku harian kapal dan/atau memberikan salinannya.
(3)         Buku harian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Pasal  142

(1)          Anak Buah Kapal wajib menaati perintah Nakhoda secara tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan kapal tanpa izin Nakhoda.


(2)          Dalam hal Anak Buah Kapal mengetahui bahwa perintah yang diterimanya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka yang bersangkutan berhak mengadukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang.

Pasal  143
(1)          Nakhoda berwenang memberikan tindakan disiplin atas pelanggaran yang  dilakukan  setiap  Anak  Buah  Kapal yang:
a.       meninggalkan kapal tanpa izin Nakhoda;
b.      tidak kembali ke kapal pada waktunya;
c.       tidak melaksanakan tugas dengan baik;
d.      menolak perintah penugasan;
e.      berperilaku tidak tertib; dan/atau
f.         berperilaku tidak layak.
(2)          Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Pasal  144
(1)          Selama perjalanan  kapal,  Nakhoda  dapat  mengambil tindakan terhadap setiap orang yang secara tidak sah berada di atas kapal.
(2)          Nakhoda mengambil tindakan apabila orang dan/atau yang ada di dalam kapal akan membahayakan keselamatan kapal dan Awak Kapal.
(3)          Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal     145
Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan  apa  pun  tanpa  disijil  dan  tanpa  memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.

Pasal 146
Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  penyijilan,  pengawakan kapal, dan dokumen pelaut diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Garis Muat Kapal dan Pemuatan

Pasal 147

(1)          Setiap kapal  yang  berlayar  harus  ditetapkan  garis  muatnya sesuai dengan persyaratan.
(2)          Penetapan garis muat kapal dinyatakan dalam Sertifikat Garis Muat.
(3)          Pada setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus dipasang Marka Garis Muat secara tetap sesuai dengan daerah-pelayarannya.

Pasal 148

(1)          Setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus dilengkapi dengan informasi stabilitas untuk memungkinkan Nakhoda  menentukan  semua  keadaan pemuatan yang layak pada setiap kondisi kapal.
(2)          Tata cara  penanganan,  penempatan,  dan  pemadatan muatan barang serta pengaturan balas harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

Pasal 149

(1)          Setiap peti  kemas  yang  akan  dipergunakan  sebagai bagian dari alat angkut wajib memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas.
(2)          Tata cara penanganan, penempatan, dan pemadatan peti kemas serta pengaturan balas harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

Pasal 150

Ketentuan lebih lanjut mengenai garis muat dan pemuatan diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kelima Kesejahteraan Awak Kapal dan Kesehatan Penumpang

Pasal 151

(1)          Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi:
a.      gaji;
b.      jam kerja dan jam istirahat;
c.       jaminan     pemberangkatan       ke     tempat     tujuan      dan pemulangan ke tempat asal;
d.      kompensasi     apabila     kapal     tidak    dapat     beroperasi karena mengalami kecelakaan;
e.      kesempatan mengembangkan karier;
f.        pemberian    akomodasi,     fasilitas    rekreasi,     makanan atau minuman; dan
g.      pemeliharaan        dan       perawatan       kesehatan        serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.

(2)          Kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara Awak Kapal dengan pemilik  atau  operator  kapal  sesuai  dengan  peraturan perundang-undangan.

Pasal 152

(1)          Setiap               kapal    yang                     mengangkut      penumpang                 wajib menyediakan fasilitas kesehatan bagi penumpang.
(2)          Fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    ruang pengobatan atau perawatan;
b.    peralatan medis dan obat-obatan; dan
c.    tenaga medis.

Pasal 153

Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja dan persyaratan fasilitas kesehatan penumpang diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam Status Hukum Kapal

Pasal 154

Status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses:
a.      pengukuran kapal;
b.      pendaftaran kapal; dan
c.       penetapan kebangsaan kapal.

Pasal 155

(1)          Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Menteri.
(2)          Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu:
a.      pengukuran dalam negeri  untuk kapal  yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter;
b.      pengukuran internasional  untuk  kapal  yang  berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan
c.       pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui terusan tertentu.
(3)          Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(4)          Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk.

Pasal 156

(1)          Pada kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur wajib dipasang Tanda Selar.
(2)          Tanda Selar harus tetap terpasang di kapal dengan baik dan mudah dibaca.


Pasal 157
(1)          Pemilik, operator  kapal,  atau  Nakhoda  harus  segera melaporkan secara tertulis kepada Menteri apabila terjadi perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam Surat Ukur.
(2)          Apabila terjadi perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengukuran ulang kapal harus segera dilakukan.

Pasal  158
(1)          Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)          Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:
a.      kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang- kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
b.      kapal milik  warga  negara  Indonesia  atau  badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
c.       kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(3)          Pendaftaran kapal dilakukan dengan  pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4)          Sebagai bukti  kapal  telah  terdaftar,  kepada  pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai  bukti  hak  milik  atas  kapal  yang  telah didaftar.
(5)          Pada kapal  yang  telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran.

Pasal 159
(1)          Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)          Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya.



Pasal 160

(1)          Kapal dilarang didaftarkan apabila pada saat yang sama kapal itu masih terdaftar di tempat pendaftaran lain.
(2)          Kapal asing yang akan didaftarkan di Indonesia harus dilengkapi dengan surat keterangan penghapusan dari negara bendera asal kapal.

Pasal 161

(1)          Grosse akta pendaftaran kapal yang rusak, hilang, atau musnah dapat  diberikan  grosse  akta  baru  sebagai pengganti.
(2)          Grosse akta pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)       hanya dapat diberikan oleh pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal pada tempat kapal didaftarkan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.

Pasal     162

(1)          Pengalihan hak milik atas kapal wajib dilakukan dengan cara balik  nama  di  tempat  kapal  tersebut  semula didaftarkan.
(2)          Balik nama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) dilaksanakan dengan membuat akta balik nama dan dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan.
(3)          Sebagai bukti telah terjadi pengalihan hak milik atas kapal kepada pemilik yang baru diberikan grosse akta balik nama kapal.

Pasal  163

(1)          Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di  laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Menteri.
(2)          Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk :
a.      Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage) atau lebih;


b.     Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau
c.       Pas Kecil untuk kapal berukuran  kurang dari GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3)          Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberikan pas sungai dan danau.

Pasal  164

Kapal negara dapat diberi Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.

Pasal  165
(1)          Kapal berkebangsaan Indonesia wajib mengibarkan bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaan kapal.
(2)          Kapal yang  bukan  berkebangsaan  Indonesia  dilarang mengibarkan bendera  Indonesia  sebagai  tanda  kebangsaannya.

Pasal  166

(1)          Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan identitas kapalnya secara jelas.
(2)          Setiap kapal asing yang memasuki pelabuhan, selama berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan di Indonesia, wajib mengibarkan bendera Indonesia selain bendera kebangsaannya.

Pasal  167

Kapal berkebangsaan Indonesia dilarang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan.

Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Ketujuh
Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran dari Kapal

Pasal 169
(1)          Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis  dan  ukuran  tertentu  harus  memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal.
(2)          Kapal yang  telah  memenuhi  persyaratan  manajemen keselamatan dan  pencegahan  pencemaran  dari  kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3)          Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa  Dokumen  Penyesuaian  Manajemen Keselamatan (Document of Compliance/DOC) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety Management Certificate/SMC) untuk kapal.
(4)          Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
(5)          Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh  Menteri.
(6)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan Manajemen Keamanan Kapal

Pasal 170
(1)          Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk ukuran  tertentu  harus  memenuhi  persyaratan manajemen keamanan kapal.
(2)          Kapal yang  telah  memenuhi  persyaratan  manajemen keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.



(3)          Sertifikat Manajemen  Keamanan  Kapal  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (2)  berupa  Sertifikat  Keamanan Kapal Internasional (International  Ship  Security Certificate/ISSC).
(4)          Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
(5)          Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri.
(6)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan Sanksi Administratif

Pasal 171

(1)          Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1),  Pasal  129  ayat  (1)  atau ayat (4), Pasal 130 ayat (1), Pasal 132 ayat (1)  atau  ayat (2), Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat
(1)     atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau  ayat  (2),  Pasal  152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 160 ayat (1), Pasal
162 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a.      peringatan;
b.      denda administratif;
c.       pembekuan izin atau pembekuan sertifikat;
d.      pencabutan izin atau pencabutan sertifikat;
e.      tidak diberikan sertifikat; atau
f.        tidak diberikan Surat Persetujuan Berlayar.
(2)          Pejabat pemerintah  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (5) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB X KENAVIGASIAN

Bagian Kesatu
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran Pasal 172
(1)          Pemerintah bertanggung  jawab  untuk  menjaga  keselamatan dan  keamanan  pelayaran  dengan menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2)          Selain untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dapat pula dipergunakan  untuk kepentingan tertentu lainnya.
(3)          Penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)          Dalam keadaan tertentu, pengadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
(5)          Sarana Bantu  Navigasi-Pelayaran  yang  diadakan  oleh badan usaha  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4) diawasi oleh Pemerintah.
(6)          Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib:
a.      memelihara     dan    merawat    Sarana     Bantu     Navigasi- Pelayaran;
b.      menjamin keandalan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c.       melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.

Pasal 173

Pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.


Pasal 174
Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran serta  fasilitas  alur-pelayaran  di  laut, sungai, dan danau.

Pasal 175
(1)          Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung  jawab pada setiap kerusakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan hambatan di laut, sungai, dan danau yang  disebabkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2)          Tanggung jawab Pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk segera  memperbaiki  atau  mengganti  sehingga fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.
(3)          Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.

Pasal 176
(1)          Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)          Biaya pemanfaatan Sarana  Bantu Navigasi-Pelayaran tidak dikenakan bagi kapal negara dan kapal tertentu.

Pasal 177
Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  penyelenggaraan  Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran  diatur  dengan  Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Telekomunikasi-Pelayaran

Pasal 178
(1)          Pemerintah wajib menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan  menyelenggarakan  Telekomunikasi- Pelayaran sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi.

(2)         Penyelenggaraan . . .


(2)          Penyelenggaraan sistem Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)          Pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
(4)          Telekomunikasi-Pelayaran yang  diadakan  oleh  badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diawasi oleh Pemerintah.
(5)          Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a.      memelihara dan merawat Telekomunikasi-Pelayaran;
b.      menjamin keandalan Telekomunikasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c.       melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran.

Pasal 179

Pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.

Pasal 180

Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Telekomunikasi- Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan danau.

Pasal 181

(1)          Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung  jawab pada setiap  kerusakan  Telekomunikasi-Pelayaran  dan hambatan di laut, sungai dan danau  yang  disebabkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2)          Tanggung jawab pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk segera  memperbaiki  atau  mengganti  sehingga fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.


(3)          Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.

Pasal 182
(1)          Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)          Biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran dikenakan bagi seluruh kapal.

Pasal 183

(1)          Pemerintah wajib  memberikan  pelayanan  komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta siaran tanda waktu standar.
(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta siaran tanda waktu standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 184
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan Telekomunikasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Hidrografi dan Meteorologi

Pasal 185

Pemerintah melaksanakan survei dan pemetaan hidrografi untuk pemutakhiran  data  pada  buku  petunjuk-pelayaran, peta laut, dan peta alur-pelayaran sungai dan danau.

Pasal 186
(1)      Pemerintah            wajib                  memberikan pelayanan                          meteorologi meliputi antara lain:
a.      pemberian informasi mengenai keadaan cuaca dan laut serta prakiraannya;


b.      kalibrasi dan  sertifikasi  perlengkapan  pengamatan cuaca di kapal; dan
c.       bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut kepada Awak Kapal tertentu untuk menunjang masukan data meteorologi.
(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan meteorologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat Alur dan Perlintasan

Pasal  187

(1)          Alur dan perlintasan terdiri atas:
a.      alur-pelayaran di laut; dan
b.      alur-pelayaran sungai dan danau.
(2)          Alur-pelayaran sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) dicantumkan dalam  peta  laut  dan buku  petunjuk- pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang berwenang.
(3)          Pada alur-pelayaran sungai dan danau ditetapkan kriteria klasifikasi alur.
(4)          Penetapan kriteria klasifikasi alur-pelayaran sungai dan danau dilakukan  dengan  memperhatikan  saran  dan pertimbangan teknis dari Menteri yang terkait.

Pasal 188

(1)          Penyelenggaraan  alur-pelayaran         dilaksanakan         oleh Pemerintah.
(2)          Badan               usaha     dapat                       diikutsertakan     dalam                 sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran.
(3)          Untuk  penyelenggaraan           alur-pelayaran           sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib:
a.      menetapkan alur-pelayaran;
b.      menetapkan sistem rute;
c.       menetapkan tata cara berlalu lintas; dan
d.      menetapkan      daerah      labuh      kapal      sesuai      dengan kepentingannya.


Pasal 189

(1)      Untuk membangun dan memelihara alur-pelayaran dan kepentingan lainnya  dilakukan  pekerjaan  pengerukan dengan memenuhi persyaratan teknis.
(2)      Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      keselamatan berlayar;
b.      kelestarian lingkungan;
c.       tata ruang perairan; dan
d.      tata pengairan untuk pekerjaan di sungai dan danau.

Pasal 190

(1)          Untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar pada perairan tertentu, Pemerintah menetapkan sistem rute yang meliputi:
a.      skema pemisah lalu lintas di laut;
b.      rute dua arah;
c.       garis haluan yang dianjurkan;
d.      rute air dalam;
e.      daerah yang harus dihindari;
f.        daerah lalu lintas pedalaman; dan
g.      daerah kewaspadaan.
(2)         Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)  didasarkan pada:
a.      kondisi alur-pelayaran; dan
b.      pertimbangan kepadatan lalu lintas.
(3)          Sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk- pelayaran dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 191

Tata cara berlalu lintas di perairan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 192

Setiap alur-pelayaran wajib dilengkapi dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran.


Pasal 193

(1)          Selama berlayar  Nakhoda  wajib  mematuhi  ketentuan yang berkaitan dengan:
a.      tata cara berlalu lintas;
b.      alur-pelayaran;
c.       sistem rute;
d.      daerah-pelayaran lalu lintas kapal; dan
e.      Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
(2)          Nakhoda yang  berlayar  di  perairan  Indonesia  pada wilayah tertentu  wajib  melaporkan  semua  informasi melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat.

Pasal 194

(1)          Pemerintah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia dan tata cara penggunaannya untuk perlintasan yang sifatnya terus menerus, langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
(2)          Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a.      ketahanan nasional;
b.      keselamatan berlayar;
c.       eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam;
d.      jaringan kabel dan pipa dasar laut;
e.      konservasi sumber daya alam dan lingkungan;
f.        rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional;
g.      tata ruang laut; dan
h.      rekomendasi organisasi internasional yang berwenang.
(3)          Semua kapal asing yang menggunakan Alur Laut Kepulauan Indonesia dalam pelayarannya tidak boleh menyimpang kecuali dalam keadaan darurat.
(4)          Pemerintah mengawasi  lalu  lintas  kapal  asing  yang  melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(5)          Pemerintah menetapkan lokasi Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran untuk melakukan pemantauan terhadap lalu lintas kapal asing yang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia.


Pasal 195

Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia:
a.      Pemerintah harus menetapkan dan mengumumkan zona keamanan dan  zona  keselamatan  pada  setiap  lokasi kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan berlayar;
b.      setiap membangun, memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau  instalasi  harus  memenuhi  persyaratan keselamatan dan mendapatkan izin dari Pemerintah;
c.       setiap bangunan atau instalasi dimaksud dalam huruf b, yang sudah tidak digunakan wajib dibongkar oleh pemilik bangunan atau instalasi;
d.      pembongkaran sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  c  dilaksanakan dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan kepada Pemerintah untuk diumumkan; dan
e.      pemilik atau operator yang akan mendirikan bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib memberikan jaminan.

Pasal 196

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penetapan alur  dan  perlintasan  diatur  dengan  Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Pengerukan dan Reklamasi

Pasal 197

(1)          Untuk kepentingan  keselamatan  dan  keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur- pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib mendapat izin Pemerintah.
(2)          Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai  kemampuan  dan  kompetensi  dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Pemanduan

Pasal 198

(1)          Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan berlayar, serta kelancaran berlalu lintas di perairan dan  pelabuhan, Pemerintah  menetapkan  perairan  tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa.
(2)          Setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan     pandu     luar     biasa     menggunakan                                   jasa pemanduan.
(3)          Penyelenggaraan pemanduan  dilakukan  oleh  Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan.
(4)          Penyelenggaraan  pemanduan  sebagaimana   dimaksud  pada ayat (3) dipungut biaya.
(5)          Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada  pengelola  terminal  khusus  yang memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari Pemerintah.
(6)          Biaya pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebaskan bagi:
a.      kapal perang; dan
b.      kapal negara  yang  digunakan  untuk  tugas pemerintahan.

Pasal 199

(1)          Petugas Pandu wajib memenuhi persyaratan kesehatan, keterampilan, serta  pendidikan  dan  pelatihan  yang dibuktikan dengan sertifikat.


(2)          Petugas Pandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada standar keselamatan dan keamanan pelayaran.
(3)          Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Nakhoda.

Pasal 200

Pengelola terminal khusus atau Badan Usaha Pelabuhan yang mengelola dan mengoperasikan pemanduan, wajib membayar persentase dari pendapatan yang berasal dari jasa pemanduan kepada Pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 201

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan perairan pandu, persyaratan dan  kualifikasi petugas  pandu, serta penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh Kerangka Kapal

Pasal 202

(1)          Pemilik kapal  dan/atau  Nakhoda  wajib  melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada instansi yang berwenang.
(2)          Kerangka kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang posisinya mengganggu keselamatan berlayar, harus diberi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai tanda dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal  203

(1)          Pemilik kapal  wajib  menyingkirkan kerangka  kapal  dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak kapal tenggelam.


(2)          Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh  atau  sebagian  dari  kerangka kapal dan/atau muatannya atas  biaya pemilik  apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)          Pemilik kapal yang lalai melaksanakan kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan pelayaran, wajib membayar ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan.
(4)          Pemerintah wajib mengangkat dan menguasai kerangka kapal dan/atau muatannya yang tidak diketahui pemiliknya dalam batas waktu yang telah ditentukan.
(5)         Untuk menjamin kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat     (1)     dan    ayat    (2)                        pemillik kapal wajib mengasuransikan kapalnya.
(6)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengangkatan  kerangka  kapal  dan/atau muatannya diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Salvage dan Pekerjaan Bawah Air

Pasal 204

(1)          Kegiatan salvage  dilakukan  terhadap  kerangka  kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.
(2)          Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin  dan  memenuhi  persyaratan  teknis  keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri.

Pasal 205

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan salvage dan pekerjaan bawah air diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kesembilan Sanksi Administratif

Pasal 206

(1)          Setiap orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (6), Pasal 178 ayat (5), Pasal 193 ayat (2), Pasal 198 ayat (2), atau Pasal 200 dikenakan sanksi administratif, berupa:
a.      peringatan;
b.      pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
c.       pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.

(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XI SYAHBANDAR

Bagian Kesatu
Fungsi, Tugas, dan Kewenangan Syahbandar Pasal 207
(1)          Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan
keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di  bidang angkutan di perairan,  kepelabuhanan,  dan  perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan.
(2)          Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Syahbandar membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan (Search and Rescue/SAR) di pelabuhan sesuai dengan  ketentuan  peraturan  perundang- undangan.

(3)         Syahbandar . . .



(3) Syahbandar diangkat oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan kompetensi  di  bidang  keselamatan  dan  keamanan pelayaran serta kesyahbandaran.

Pasal 208

(1)          Dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) Syahbandar mempunyai tugas:
a.      mengawasi       kelaiklautan        kapal,              keselamatan, keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
b.      mengawasi     tertib     lalu     lintas      kapal      di     perairan pelabuhan dan alur-pelayaran;
c.       mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan;
d.      mengawasi kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air;
e.      mengawasi kegiatan penundaan kapal;
f.        mengawasi pemanduan;
g.      mengawasi bongkar  muat  barang  berbahaya  serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
h.      mengawasi pengisian bahan bakar;
i.        mengawasi      ketertiban       embarkasi       dan      debarkasi penumpang;
j.        mengawasi pengerukan dan reklamasi;
k.      mengawasi          kegiatan          pembangunan            fasilitas pelabuhan;
l.        melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
m.   memimpin         penanggulangan           pencemaran          dan pemadaman kebakaran di pelabuhan; dan
n.      mengawasi      pelaksanaan       perlindungan       lingkungan maritim.
(2)          Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  207  ayat  (1)  Syahbandar  melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal  209

Dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana  dimaksud dalam Pasal  207  dan  Pasal  208  Syahbandar  mempunyai kewenangan:
a.      mengkoordinasikan       seluruh      kegiatan     pemerintahan       di pelabuhan;
b.      memeriksa dan menyimpan surat, dokumen, dan warta kapal;
c.       menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan;
d.      melakukan pemeriksaan kapal;
e.       menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
f.        melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal;
g.      menahan kapal atas perintah pengadilan; dan
h.      melaksanakan sijil Awak Kapal.

Pasal 210

(1)          Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat
(1)    dibentuk kelembagaan Syahbandar.
(2)          Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  pembentukan kelembagaan Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Koordinasi Kegiatan Pemerintahan
di Pelabuhan Pasal 211
(1)          Syahbandar                memiliki            kewenangan             tertinggi melaksanakan koordinasi kegiatan kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan, dan kegiatan institusi pemerintahan lainnya.
(2)           Koordinasi yang  dilaksanakan  oleh  Syahbandar sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  dalam  rangka pengawasan dan  penegakan  hukum  di  bidang keselamatan dan keamanan pelayaran.


Pasal 212

(1)           Dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban di pelabuhan sesuai dengan ketentuan konvensi internasional, Syahbandar bertindak selaku komite keamanan pelabuhan (Port Security Commitee).
(2)          Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  Syahbandar  dapat  meminta bantuan  kepada Kepolisian Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia.
(3)          Bantuan keamanan dan ketertiban di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah koordinasi dalam kewenangan Syahbandar.
(4)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan keamanan dan ketertiban serta permintaan bantuan di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dan  ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pemeriksaan dan Penyimpanan Surat,
Dokumen, dan Warta Kapal

Pasal 213

(1)          Pemilik,    Operator               Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan  kapalnya  di  pelabuhan  kepada Syahbandar.
(2)          Setiap kapal  yang  memasuki  pelabuhan  wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta kapal kepada Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan untuk dilakukan pemeriksaan.
(3)          Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar.
(4)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 214
Nakhoda wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan warta kapal kepada Syahbandar berdasarkan format yang telah ditentukan oleh Menteri.

Pasal 215
Setiap kapal yang memasuki pelabuhan, selama berada  di pelabuhan, dan pada saat meninggalkan pelabuhan wajib mematuhi peraturan dan melaksanakan petunjuk serta perintah Syahbandar untuk kelancaran lalu lintas kapal serta kegiatan di pelabuhan.

Bagian  Keempat Persetujuan Kegiatan Kapal di Pelabuhan

Pasal 216
(1)          Kapal yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang  berbahaya wajib mendapat persetujuan dari Syahbandar.
(2)          Kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, pengisian bahan bakar, pengerukan, reklamasi, dan pembangunan pelabuhan wajib dilaporkan kepada Syahbandar.
(3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Pemeriksaan Kapal

Pasal 217
Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal di pelabuhan.

Pasal 218
(1)          Dalam keadaan tertentu, Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan  kelaiklautan  kapal  dan keamanan kapal berbendera Indonesia di pelabuhan.



(2)          Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal asing di pelabuhan sesuai dengan  ketentuan  peraturan  perundang- undangan.
(3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)  diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian  Keenam Surat Persetujuan Berlayar

Pasal 219

(1)          Setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar.
(2)          Surat Persetujuan Berlayar tidak berlaku apabila kapal dalam waktu  24  (dua  puluh  empat)  jam,  setelah persetujuan berlayar diberikan, kapal tidak bertolak dari pelabuhan.
(3)          Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan pada kapal atau dicabut apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 117 ayat (2), Pasal 125 ayat (2), Pasal 130 ayat (1), Pasal 134 ayat (1), Pasal 135, Pasal 149 ayat (2), Pasal 169 ayat (1), Pasal 213 ayat (2), atau Pasal 215 dilanggar.
(4)          Syahbandar dapat menunda keberangkatan kapal untuk berlayar karena tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal atau pertimbangan cuaca.
(5)          Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)    diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Pemeriksaan Pendahuluan Kecelakaan Kapal Pasal 220
(1)         Syahbandar melakukan  pemeriksaan  terhadap  setiap  kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.


(2)          Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemeriksaan pendahuluan.

Pasal  221
(1)          Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera Indonesia di wilayah perairan Indonesia dilakukan oleh Syahbandar atau pejabat pemerintah yang ditunjuk.
(2)          Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera Indonesia di luar perairan Indonesia dilaksanakan oleh Syahbandar atau pejabat  pemerintah  yang  ditunjuk  setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia dan/atau dari pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang.
(3)          Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 dapat diteruskan kepada  Mahkamah  Pelayaran  untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.

Bagian Kedelapan Penahanan Kapal

Pasal  222
(1)          Syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan atas perintah tertulis pengadilan.
(2)          Penahanan kapal  berdasarkan  perintah  tertulis pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan alasan:
a.      kapal     yang     bersangkutan       terkait     dengan     perkara pidana; atau
b.      kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara perdata.

Pasal 223
(1)          Perintah penahanan kapal oleh pengadilan dalam perkara perdata berupa klaim-pelayaran dilakukan tanpa melalui proses gugatan.
(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penahanan kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan . . .



Bagian Kesembilan Sijil Awak Kapal

Pasal 224

(1)          Setiap orang yang bekerja di kapal dalam jabatan apa  pun harus memiliki kompetensi, dokumen pelaut, dan disijil oleh Syahbandar.
(2)          Sijil Awak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a.      penandatanganan perjanjian kerja laut yang dilakukan oleh pelaut dan perusahaan angkutan laut diketahui oleh Syahbandar; dan
b.      berdasarkan penandatanganan perjanjian kerja laut, Nakhoda memasukkan nama dan jabatan Awak Kapal sesuai dengan kompetensinya ke dalam buku sijil yang disahkan oleh Syahbandar.


Bagian Kesepuluh Sanksi Administratif

Pasal 225

(1)          Setiap orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 214, atau  Pasal  215  dikenakan  sanksi  administratif, berupa:
a.      peringatan;
b.      pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
c.       pencabutan izin.

(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XII PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM

Bagian Kesatu
Penyelenggara Perlindungan Lingkungan Maritim

Pasal 226

(1)          Penyelenggaraan  perlindungan        lingkungan        maritim dilakukan oleh Pemerintah.
(2)          Penyelenggaraan      perlindungan           lingkungan           maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.      pencegahan     dan    penanggulangan       pencemaran      dari pengoperasian kapal; dan
b.      pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan.
(3)          Selain pencegahan  dan  penanggulangan  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap:
a.      pembuangan limbah di perairan; dan
b.      penutuhan kapal.

Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran dari Pengoperasian Kapal

Pasal 227

Setiap Awak  Kapal  wajib  mencegah dan  menanggulangi terjadinya pencemaran  lingkungan  yang  bersumber  dari  kapal.

Pasal 228

(1)          Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang dioperasikan wajib  dilengkapi  peralatan  dan  bahan penanggulangan pencemaran  minyak  dari  kapal  yang mendapat pengesahan dari Pemerintah.


(2)          Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang dioperasikan wajib dilengkapi pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal yang mendapat pengesahan dari Pemerintah.

Pasal  229

(1)          Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah,  air balas, kotoran, sampah, serta bahan kimia berbahaya dan beracun ke perairan.
(2)          Dalam hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan kualitas buangan telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang- undangan, ketentuan pada ayat (1) dapat dikecualikan.
(3)          Setiap kapal dilarang mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas  sesuai dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.

Pasal 230

(1)          Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit  kegiatan lain di perairan bertanggung  jawab menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kapal dan/atau kegiatannya.
(2)          Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit  kegiatan lain di perairan wajib segera melaporkan kepada Syahbandar terdekat  dan/atau  unsur Pemerintah  lain yang terdekat mengenai terjadinya pencemaran perairan yang disebabkan oleh kapalnya atau yang bersumber dari kegiatannya, apabila melihat adanya pencemaran dari  kapal, dan/atau kegiatan lain di perairan.
(3)          Unsur Pemerintah lainnya yang telah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meneruskan laporan mengenai adanya pencemaran perairan kepada Syahbandar terdekat atau kepada institusi yang berwenang.
(4)          Syahbandar segera  meneruskan  laporan  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada institusi yang berwenang untuk penanganan lebih lanjut.


(1)          Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
(2)          Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Pasal  232

Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  pencegahan  dan penanggulangan pencemaran  akibat  pengoperasian  kapal  diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 233

(1)          Pengangkutan limbah  bahan  berbahaya  dan  beracun dengan kapal  wajib  memperhatikan  spesifikasi  kapal untuk pengangkutan limbah.
(2)          Spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)          Kapal yang mengangkut limbah bahan berbahaya dan beracun wajib memiliki standar operasional dan prosedur tanggap darurat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran dari Kegiatan Kepelabuhanan

Pasal 234

Pengoperasian pelabuhan wajib memenuhi persyaratan untuk mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan.


(1)          Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan peralatan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan.
(2)          Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan bahan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan.
(3)          Otoritas Pelabuhan wajib memiliki standar dan prosedur tanggap darurat penanggulan pencemaran.

Pasal  236

Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan,  dan  pengelola  terminal  khusus  wajib menanggulangi pencemaran  yang  diakibatkan  oleh pengoperasian pelabuhan.

Pasal 237

(1)          Untuk menampung limbah yang berasal dari kapal di pelabuhan, Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan Pengelola Terminal Khusus wajib dan bertanggung jawab menyediakan fasilitas penampungan limbah.
(2)          Manajemen pengelolaan  limbah  dilaksanakan  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)          Pengangkutan limbah  ke  tempat pengumpulan, pengolahan, dan pemusnahan akhir dilaksanakan berdasarkan ketentuan  yang  ditetapkan  oleh  Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.

Pasal  238

Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  pencegahan  dan penanggulangan pencemaran  di  pelabuhan  diatur  dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat Pembuangan Limbah di Perairan

Pasal 239
(1)          Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan memenuhi persyaratan tertentu.
(2)          Pembuangan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)         wajib dilaporkan kepada institusi yang tugas dan fungsinya di bidang penjagaan laut dan pantai.

Pasal  240
Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  pembuangan  limbah  di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Penutuhan Kapal

Pasal 241
(1)          Penutuhan kapal wajib  memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritim.
(2)          Lokasi penutuhan  kapal  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) ditentukan oleh Menteri.

Pasal 242
Persyaratan perlindungan lingkungan maritim untuk kegiatan penutuhan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Sanksi Administratif

Pasal 243
(1)          Setiap orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a.      peringatan;
b.      denda administratif;

c.       pembekuan . . .


c.       pembekuan izin; atau
d.      pencabutan izin.
(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB  XIII
KECELAKAAN KAPAL SERTA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN

Bagian Kesatu Bahaya Terhadap Kapal

Pasal 244

(1)          Bahaya terhadap  kapal  dan/atau  orang  merupakan kejadian yang dapat menyebabkan terancamnya keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia.
(2)          Setiap orang  yang  mengetahui  kejadian  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera melakukan upaya pencegahan, pencarian dan pertolongan serta melaporkan kejadian kepada pejabat berwenang terdekat atau pihak lain.
(3)          Nakhoda wajib  melakukan  tindakan  pencegahan  dan penyebarluasan berita kepada pihak lain apabila mengetahui di kapalnya, kapal lain, atau adanya orang dalam keadaan bahaya.
(4)          Nakhoda wajib melaporkan bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada:
a.      Syahbandar pelabuhan terdekat apabila bahaya terjadi di wilayah perairan Indonesia; atau
b.      Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila bahaya  terjadi  di  luar  wilayah  perairan Indonesia.


Bagian Kedua . . .


Bagian Kedua Kecelakaan Kapal

Pasal 245

Kecelakaan kapal  merupakan  kejadian  yang  dialami  oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa:
a.      kapal tenggelam;
b.      kapal terbakar;
c.       kapal tubrukan; dan
d.      kapal kandas.

Pasal  246

Dalam hal terjadi kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal.

Pasal  247

Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal  lain wajib  mengambil  tindakan  penanggulangan,  meminta dan/atau memberikan  pertolongan,  dan  menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain.

Pasal 248

Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal  lain wajib melaporkan kepada :
a.      Syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; atau
b.      Pejabat Perwakilan  Republik  Indonesia  terdekat  dan pejabat pemerintah  negara  setempat  yang  berwenang apabila kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.

Pasal 249

Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan tanggung jawab Nakhoda kecuali dapat  dibuktikan lain.


Bagian Ketiga Mahkamah Pelayaran

Pasal 250

(1)          Mahkamah  Pelayaran                                              dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.
(2)          Mahkamah Pelayaran memiliki susunan organisasi dan tata kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 251

Mahkamah    Pelayaran             sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi dan kompetensi Nakhoda dan/atau perwira kapal setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh  Syahbandar.

Pasal 252

Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal niaga, kapal niaga dengan kapal negara, dan kapal niaga dengan kapal perang.

Pasal 253

(1)          Dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251  Mahkamah Pelayaran bertugas:
a.      meneliti sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal; dan
b.      merekomendasikan kepada  Menteri  mengenai  pengenaan sanksi administratif atas kesalahan atau kelalaian yang  dilakukan  oleh  Nakhoda  dan/atau  perwira kapal.
(2)          Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a.      peringatan; atau
b.      pencabutan sementara Sertifikat Keahlian Pelaut.


(1)          Dalam pemeriksaan lanjutan Mahkamah Pelayaran dapat menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dan pihak terkait lainnya.
(2)          Dalam pemeriksaan  lanjutan,  pemilik,  atau  operator  kapal wajib menghadirkan Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal.
(3)          Pemilik, atau operator kapal yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi berupa:
a.      peringatan;
b.      pembekuan izin; atau
c.       pencabutan izin.

Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, kewenangan, dan tugas Mahkamah Pelayaran serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi  administratif  diatur  dengan  Peraturan  Pemerintah.

Bagian Keempat Investigasi Kecelakaan Kapal

Pasal  256

(1)          Investigasi kecelakaan  kapal  dilakukan  oleh  Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk mencari fakta guna mencegah  terjadinya  kecelakaan  kapal  dengan  penyebab yang sama.
(2)          Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap kecelakaan kapal.
(3)          Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak untuk menentukan kesalahan atau kelalaian atas terjadinya kecelakaan kapal.


Ketentuan lebih  lanjut  mengenai  tugas  Komite  Nasional  Keselamatan Transportasi serta tata cara pemeriksaan dan investigasi kecelakaan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Pencarian dan Pertolongan

Pasal  258

(1)          Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan kapal dan/atau orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
(2)          Kapal atau pesawat udara yang berada di dekat atau melintasi lokasi  kecelakaan,  wajib  membantu  usaha  pencarian dan pertolongan terhadap setiap kapal dan/atau orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
(3)          Setiap orang yang memiliki atau mengoperasikan kapal yang mengalami kecelakaan kapal, bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan kapalnya.

Pasal 259

Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1) dikoordinasikan dan  dilakukan  oleh  institusi  yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.

Pasal 260

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal  261

(1)          Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pelayaran  dilaksanakan  dengan tujuan tersedianya sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, dan bertanggung jawab serta memenuhi standar nasional dan internasional.
(2)          Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penempatan, pengembangan pasar kerja, dan perluasan kesempatan berusaha.
(3)          Penyelenggaraan dan  pengembangan  sumber  daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aparatur Pemerintah dan masyarakat.
(4)          Sumber daya manusia di bidang pelayaran sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      sumber daya manusia di bidang angkutan di perairan;
b.      sumber daya manusia di bidang kepelabuhanan;
c.       sumber daya  manusia  di  bidang  keselamatan  dan keamanan pelayaran; dan
d.      sumber daya manusia di bidang perlindungan lingkungan maritim.

Pasal  262

(1)          Pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) diselenggarakan oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
(2)          Jalur pendidikan  formal  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1)  diselenggarakan  dalam  jenjang  pendidikan menengah dan perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)          Jalur pendidikan nonformal merupakan lembaga pelatihan dalam bentuk balai pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran.


(1)          Pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) merupakan tanggung jawab Pemerintah, pembinaannya dilakukan oleh Menteri dan menteri yang bertanggung jawab di  bidang  pendidikan  nasional  sesuai  dengan kewenangannya.
(2)          Pemerintah dan pemerintah daerah mengarahkan, membimbing,                                       mengawasi,              dan             membantu penyelenggaraan pendidikan  dan  pelatihan  di  bidang pelayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)          Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pelayaran.

Pasal 264

(1)          Pendidikan          dan               pelatihan  sumber                     daya                          manusia                  di bidang pelayaran  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal
261    ayat    (2)   disusun      dalam    model    pendidikan     dan pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)          Model pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.      jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
b.      peserta pendidikan dan pelatihan;
c.       hak dan kewajiban pendidikan dan pelatihan;
d.      kurikulum dan metode pendidikan dan pelatihan;
e.      tenaga pendidik dan pelatih;
f.        prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
g.      standardisasi         penyelenggaraan         pendidikan        dan pelatihan;
h.      pembiayaan pendidikan dan pelatihan; dan
i.        pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan pelatihan.

Pasal 265

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.


Pasal 266

(1)          Perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan fasilitas praktik berlayar di kapal untuk meningkatkan kualitas sumber  daya  manusia  di  bidang  angkutan perairan.
(2)          Perusahaan angkutan di perairan, Badan Usaha Pelabuhan, dan  instansi  terkait  wajib  menyediakan fasilitas praktik di pelabuhan atau di lokasi kegiatannya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pelayaran.
(3)          Perusahaan angkutan di perairan, organisasi, dan badan usaha yang  mendapatkan  manfaat atas  jasa  profesi pelaut wajib memberikan kontribusi untuk menunjang tersedianya tenaga pelaut yang andal.
(4)          Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a.      memberikan beasiswa pendidikan;
b.      membangun lembaga pendidikan sesuai dengan standar internasional;
c.       melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan yang ada; dan/atau
d.      mengadakan perangkat  simulator,  buku  pelajaran, dan terbitan maritim yang mutakhir.

Pasal 267

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) atau ayat (3) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a.      peringatan;
b.      denda administratif;
c.       pembekuan izin; atau
d.      pencabutan izin.

Pasal 268

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia, tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif, serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XV
SISTEM INFORMASI PELAYARAN

Pasal 269

(1)          Sistem informasi  pelayaran  mencakup  pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelayaran untuk:
a.      mendukung operasional pelayaran;
b.      meningkatkan pelayanan  kepada  masyarakat  atau publik; dan
c.       mendukung            perumusan kebijakan di bidang pelayaran.
(2)          Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3)          Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelayaran sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 270

Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 mencakup:
a.      sistem     informasi     angkutan      di    perairan      paling    sedikit memuat:
1)      usaha dan kegiatan angkutan di perairan;
2)      armada dan kapasitas ruang kapal nasional;
3)      muatan kapal dan pangsa muatan kapal nasional;
4)      usaha dan kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan; dan
5)      trayek angkutan di perairan.
b.      sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
1)      kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
2)      kapasitas dan kondisi fasilitas  pelabuhan;
3)      arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
4)      arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
5)      kinerja pelabuhan;
6)      operator terminal di pelabuhan;


7)      tarif jasa kepelabuhanan; dan
8)      Rencana          Induk        Pelabuhan         dan/atau          rencana pembangunan pelabuhan.
c.       sistem informasi keselamatan dan  keamanan pelayaran paling sedikit memuat:
1)      kondisi angin, arus, gelombang, dan pasang surut;
2)      kapasitas              Sarana           Bantu           Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, serta alur dan perlintasan;
3)      kapal negara di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran;
4)      sumber daya manusia bidang kepelautan;
5)      daftar kapal berbendera Indonesia;
6)      kerangka kapal di perairan Indonesia;
7)      kecelakaan kapal; dan
8)      lalu lintas kapal di perairan.
d.     sistem informasi perlindungan lingkungan maritim paling sedikit memuat:
1)      keberadaan bangunan di bawah air (kabel laut dan pipa laut);
2)       lokasi pembuangan limbah; dan
3)      lokasi penutuhan kapal.
e.      sistem informasi sumber daya manusia dan peran serta masyarakat di bidang pelayaran paling sedikit memuat:
1)     jumlah dan kompetensi sumber daya manusia di bidang pelayaran; dan
2)      kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah di bidang pelayaran.

Pasal 271

Penyelenggaraan sistem informasi pelayaran dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 272

(1)          Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang pelayaran wajib  menyampaikan  data  dan  informasi kegiatannya kepada  Pemerintah  dan/atau  pemerintah daerah.


(2)          Pemerintah dan/atau  pemerintah  daerah  melakukan  pemutakhiran data  dan  informasi pelayaran  secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan  kebutuhan,  akurat,  terkini,  dan  dapat dipertanggungjawabkan.
(3)          Data dan  informasi  pelayaran  didokumentasikan  dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(4)          Pengelolaan sistem informasi pelayaran oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
(5)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan  sistem  informasi  pelayaran  diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 273

(1)          Setiap orang  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa:
a.      peringatan;
b.      pembekuan izin; atau
c.       pencabutan izin.
(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB  XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 274

(1)          Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan pelayaran.



(2)          Peran serta  masyarakat  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) berupa:
a.      memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan pelayaran;
b.      memberi masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan,  pedoman,  dan  standar teknis di bidang pelayaran;
c.       memberi masukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan pelayaran;
d.      menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang  berwenang  terhadap  kegiatan penyelenggaraan            kegiatan                                           pelayaran          yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan; dan/atau
e.      melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan pelayaran yang  mengganggu,  merugikan,  dan/atau membahayakan kepentingan umum.
(3)          Pemerintah mempertimbangkan  dan  menindaklanjuti  terhadap masukan, pendapat, dan pertimbangan yang disampaikan oleh  masyarakat  sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(4)          Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat  (2)  masyarakat  ikut  bertanggung  jawab menjaga ketertiban  serta  keselamatan  dan  keamanan pelayaran.

Pasal 275

(1)          Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (2) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
(2)          Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan Peraturan Menteri.



BAB XVII PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI
(SEA AND COAST GUARD)

Pasal 276

(1)          Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut  dilaksanakan fungsi  penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.
(2)          Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
(3)          Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.

Pasal 277

(1)          Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  276  ayat  (1)  penjaga  laut  dan  pantai  melaksanakan tugas:
a.      melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b.      melakukan            pengawasan,            pencegahan,            dan penanggulangan pencemaran di laut;
c.       pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
d.      pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut;
e.      pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f.        mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
(2)          Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  276  ayat  (1)  penjaga  laut  dan  pantai  melaksanakan koordinasi untuk:
a.      merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut;


b.      menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu;
c.       kegiatan penjagaan,  pengawasan,  pencegahan  dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan
d.      memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu.

Pasal 278

(1)          Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a.      melaksanakan patroli laut;
b.      melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c.       memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d.      melakukan penyidikan.
(2)          Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Post a Comment

0 Comments